Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Metode Pembelajaran Bahasa Arab
Oleh: Prof..Dr.H.Saidun Fiddaroini, M.A.
1. Unsur-unsur Metode
Semua pengajaran
mengandung sesuatu tentang pilihan (seleksi), sesuatu tentang tahapan
(gradasi), sesuatu tentang penyajian (presentasi), dan sesuatu tentang
pengulangan (repetisi). Semua yang termasuk dalam pengajaran, apakah itu
pengajaran matemati-ka, sejarah, geografi, bahasa dan lain-lain, merupakan
unsur-unsur yang dapat dimasukkan dalam metoda (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa setiap metode tertentu akan senantiasa
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan tentang pilihan materi atau seleksi,
gradasi, presentasi, dan repetisi atau latian-latihan dengan pengulangan materi
dalam proses pembelajaran. Jadi metode itu merupakan sebuah sistem dari
berbagai komponen yang berkaitan.
Seleksi materi
dalam proses belajar mengajar diperlukan karena tidak mungkin mengajarkan semua
cabang ilmu, harus dipilih bagian yang akan diajarkan. Gradasi itu penting
sebab sesuatu yang telah diseleksi tak akan dapat diajarkan seluruhnya
sekaligus, harus didahulukan sesuatu yang lebih mudah sebelum berpindah kepada
yang agak sukar dan lebih sukar. Presentasi juga penting sebab tidak mungkin
mengajarkan sesuatu kepada seseorang tanpa berkomunikasi kepada orang tersebut.
Repetisi juga sangat peting sebab tidak mudah mengajarkan suatu keterampilan
hanya dengan menerangkan sekali saja, atau memberikan contoh sekali saja. Jadi
semua metode, apakah itu metode terjemah, gramatika, langsung dan lain-lain
untuk mengajarkan bahasa atau metode ceramah untuk mengajarkan tafsir, hadis
dan lain-lain, sadar atau tidak sadar pasti memerlukan seleksi, gradasi,
presentasi dan repetisi (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 6).
Metode itu
sendiri khususnya metode pengajaran bahasa ialah bagaimana cara mengajar dengan
materi bahasa. Para pendidik akan memakai materi-materi itu, tetapi mereka tidak
menjadi budak dari materi tersebut. Pendidik akan mengadakan perubahan di
sana-sini untuk menyesuaikan dengan situasi kelasnya seperti mengada-kan
latihan-latihan percakapan (Umar Asasuddin Sokah: 1982, 71).
Sebelum
seleksi, gradasi, presentasi dan repetisi dilakukan, perlu diketahui terlebih
dulu materi apa yang akan diajarkan, sebab materi bisa mempengaruhi seleksi,
gradasi, presentasi dan repetisi (Willian Francis Mackey: 1974, 155-157). Dalam
hal ini materi yang dimaksud adalah bahasa Arab. Oleh karena itu perlu
diketahui sifat-sifat bahasa Arab, agar dengan demikian dapat ditentukan metode
yang baik, mulai dari penentuan seleksi, penentuan gradasi, penentuan
presentasi serta penentuan repetisi materi agar diperoleh keterampilan
berbahasa.
Pada tahap tertentu akan diperlukan metode khusus untuk materi khusus, misalnya metode mengajarkan tata bahasanya atau metode mengajarkan kosa katanya. Pada tataran ini mesti diperhatikan beberapa ilmu yang diperlukan untuk pendukung ke arah keterampilan berbahasa Arab. Meskipun pada dasarnya yang dipelajari dalam bahasa Arab itu hanya dua, yakni kosa kata dan aturan penggunaannya, tetapi pada kenyataannya banyak ilmu yang berkaitan dengan dua hal tersebut, misalnya ilmu al-aswat yang berkaitan dengan bunyi kosa kata, atau ilmu sharaf yang berkaitan dengan perubahan bentuk kosa kata sampai dengan penyusunan kosa kata-kosa kata menjadi suatu kalimat yang komplek. Dalam pembelajaran bahasa akan terasa bahwa unsur repetisi sangat dominan untuk menumbuhkan keterampilan berbahasa. Adapun unsur lainnya merupakan prasyarat yang mengantarkan agar pembelajarannya berlangsung efektif dan efisien.
Pada tahap tertentu akan diperlukan metode khusus untuk materi khusus, misalnya metode mengajarkan tata bahasanya atau metode mengajarkan kosa katanya. Pada tataran ini mesti diperhatikan beberapa ilmu yang diperlukan untuk pendukung ke arah keterampilan berbahasa Arab. Meskipun pada dasarnya yang dipelajari dalam bahasa Arab itu hanya dua, yakni kosa kata dan aturan penggunaannya, tetapi pada kenyataannya banyak ilmu yang berkaitan dengan dua hal tersebut, misalnya ilmu al-aswat yang berkaitan dengan bunyi kosa kata, atau ilmu sharaf yang berkaitan dengan perubahan bentuk kosa kata sampai dengan penyusunan kosa kata-kosa kata menjadi suatu kalimat yang komplek. Dalam pembelajaran bahasa akan terasa bahwa unsur repetisi sangat dominan untuk menumbuhkan keterampilan berbahasa. Adapun unsur lainnya merupakan prasyarat yang mengantarkan agar pembelajarannya berlangsung efektif dan efisien.
2. Tarik Menarik Metode
Sudah
berkali-kali diadakan seminar dan diskusi mengenai metode pengajaran bahasa
Arab, baik oleh badan-badan swasta, lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta
maupun pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama RI dan IAIN (Muljanto Sumardi
et. al.: 1973, 13)., namun kegiatan serupa masih saja sering digelar sampai
dewasa ini. Ini
menunjukkan bahwa metode-metode yang sudah pernah dikemukakan belum bisa
memberikan jawaban memuasakan mengenai cara bagaimana agar bahasa Arab itu
menjadi mudah dikuasai oleh subyek didik.
Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi (Muljanto Sumardi et.al: 1975, 36). Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi (Sri Utari Subyakto Nababan: 1993, 14-5). Kemudian muncul the aural-oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip-prinsip linguistik (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 15). Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa agar pengajar merasa bebas untuk memakai metode-metode yang cocok bagi pelajaran, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan yang cocok bagi dirinya sendir. (Muhammad Ali al-Khulli: 1982,.25-6).
Ada tiga metode yang dianggap inovatif yang muncul setelah metode Audio-Lingual hampir habis masa jayanya, yaitu metode Suggestopedia, Counseling-Learning dan The Silent Way (Azhar Arsyad: 2003, 22)
Gambaran berbagai metode yang telah dikaji dalam buku-buku literatur kiranya sudah cukup lengkap, namun penentuan tentang metode yang tepat sering diperdebatkan. Permasalahannya adalah metode yang mana yang bisa menghasilan dua kemahiran bersamaan, yakni lancar membaca kitab kuning dan lancar berkomunikasi secara lisan. Permasalahan ini bermula dari anggapan adanya dua kemahiran yang berbeda dan bahkan berlawanan, yaitu: (1) Kalau mahir membaca kitab kuning maka lemah berkomunikasi secara lisan, dan (2) Kalau mahir berkomunikasi secara lisan maka lemah dalam membaca kitab kuning.
Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi (Muljanto Sumardi et.al: 1975, 36). Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun pada dasarnya sudah ada sejak zaman Romawi (Sri Utari Subyakto Nababan: 1993, 14-5). Kemudian muncul the aural-oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip-prinsip linguistik (Muljanto Sumardi et. al.: 1973, 15). Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa agar pengajar merasa bebas untuk memakai metode-metode yang cocok bagi pelajaran, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan yang cocok bagi dirinya sendir. (Muhammad Ali al-Khulli: 1982,.25-6).
Ada tiga metode yang dianggap inovatif yang muncul setelah metode Audio-Lingual hampir habis masa jayanya, yaitu metode Suggestopedia, Counseling-Learning dan The Silent Way (Azhar Arsyad: 2003, 22)
Gambaran berbagai metode yang telah dikaji dalam buku-buku literatur kiranya sudah cukup lengkap, namun penentuan tentang metode yang tepat sering diperdebatkan. Permasalahannya adalah metode yang mana yang bisa menghasilan dua kemahiran bersamaan, yakni lancar membaca kitab kuning dan lancar berkomunikasi secara lisan. Permasalahan ini bermula dari anggapan adanya dua kemahiran yang berbeda dan bahkan berlawanan, yaitu: (1) Kalau mahir membaca kitab kuning maka lemah berkomunikasi secara lisan, dan (2) Kalau mahir berkomunikasi secara lisan maka lemah dalam membaca kitab kuning.
Sampai sejauh
ini usaha menemukan metode untuk dua kemahiran yang “berbeda” tersebut
menyebabkan tarik-menarik metode yang bergantian diterapkan di lembaga-lembaga
pengajaran bahasa Arab. Sekali waktu para alumninya biasanya dianggap sudah ahli
membaca kitab kuning tetapi tidak cakap berbicara dalam bahasa Arab, dan pada
waktu yang lain para alumninya dianggap sudah mahir berbicara tetapi lemah
dalam membaca kitab kuning. Berganti-ganti dominasi “keterampilan” yang
diharapkan sesuai dengan wawasan para pengelola lembaga-lembaga pengajaran
bahasa Arab. Begitu juga metode yang diterapkannya berganti-ganti, sesuai
dengan kemahiran yang diinginkan untuk para alumninya.
Manakala yang
diinginkan adalah agar para alumninya itu memiliki keterampilan membaca kitab
kuning, menterjemah, dan memahami isinya dengan tujuan agar langsung bermanfaat
untuk menunjang kepentingan membaca literatur berbahasa Arab, maka proses
pengajaran ditetapkan agar memakai metode untuk memperoleh keterampilan membaca
kitab kuning.
Penetapan
metode demikian ini sering kali berdasarkan asumsi bahwa ketidakmampuan
berbicara dalam bahasa Arab (muhadatsah) bukan sebagai masalah karena yang
dipentingkan adalah bisa membaca kitab dari pada mementingkan muhadatsah yang
sering kali tidak dipergunakan, lagi pula praktek demikian biasanya dise-babkan
adanya pandangan yang menganggap penerapan all in one system itu seperti
kekanak-kanakan dalam belajar bahasa, khususnya di tingkat perguruan tinggi. Sebaliknya kalau yang
diinginkan adalah para alumninya agar memiliki keterampilan berbicara maka
metode yang diterapkan adalah metode untuk memperoleh keterampilan berbicara.
Dalam masalah
tarik-menarik metode tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan metode untuk
memperoleh keterampilan membaca sering kali dengan cara memberikan teks kitab
gundul sebagai latihan. Praktek yang berlangsung adalah
menekankan pema-haman pelajaran gramatika yakni ilmu nahwu dan sharaf. Ada yang
menganggap sudah tepat dengan menggunakan metode “Gramatika Terjemah” kalau
yang dituju adalah kemampuan membaca (Chatibul Umam: 1980, 43).
Adapun yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan berbicara adalah metode langsung (direct method) yang menekankan pengucapan langsung menghindari penjelasan teoretis ilmu nahwu dan sharaf.
Adapun yang dimaksud dengan metode untuk memperoleh keterampilan berbicara adalah metode langsung (direct method) yang menekankan pengucapan langsung menghindari penjelasan teoretis ilmu nahwu dan sharaf.
Masing-masing
pemakai metode tersebut menonjolkan keung-gulannya sendiri serta menunjukkan
kelemahan yang lain. Pada ta-taran ini diperlukan kesadaran kembali tentang
keterampilan berbahasa. Sampai sejauh ini banyak yang beranggapan bahwa kemahiran
membaca (kitab kuning) itu termasuk dalam keterampilan berbahasa. Demikian itu bisa jadi disebabkan beredarnya buku-buku teori
pengajaran bahasa yang menerangkan bahwa ada empat keterampilan berbahasa,
yaitu menyimak (مهارة الاستماع), berbicara (مهارة
الكلام), membaca (مهارة القراءة), dan menulis (مهارة
الكتابة) (Anonim: 1998, 6) Padahal empat macam keterampilan
berbahasa tersebut muncul karena adanya tinjauan aspek reseptif-produktif
secara terpisah dari kesatuan kemampuan berbahasa yang meliputi:
Ø Aspek lisan reseptif,
yaitu kemampuan memahami dan menghayati gagasan yang disampaikan secara lisan;
Ø Aspek lisan produktif, yaitu kemampuan mencetuskan
gagasan secara lisan;
Ø Aspek tulis reseptif, yaitu kemampuan memehami
dan menghayati gagasan yang disampaikan secara tertulis;
Ø Aspek tulis produktif,
yaitu kemampuan mencetuskan gagasan secara tertulis (Suyitno: 1986, 15).
Perlu dipahami
bahwa teori-teori itu boleh jadi masih merupakan sebuah hipotesis yang perlu
diuji kebenarannya. Hal ini mengingat bahwa keterampilan berbahasa Arab itu hanya dua, yakni
mendengar dan berbicara, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian keterampilan
berbahasa Arab. Di samping itu perlu disadari benar bahwa kasus tarik-menarik
metode tersebut pada dasarnya muncul karena keberadaan tulisan bahasa Arab yang
belum sempurna. Sederhana saja alasannya, bahwa tidak akan mungkin muncul
kebutuhan untuk bisa mahir membaca tulisan bahasa Arab bila tulisannya sudah
diberi syakal dengan lengkap. Begitu mudahnya membaca tulisan bahasa Arab yang
sempurna sehingga tidak akan membutuhkan metode khusus.
Dalam kaitannya
dengan anggapan bilamana metode “Gramati-ka Terjemah” itu sudah tepat untuk
kemahiran membaca kitab kuning, maka anggapan itu akan gugur dengan sendirinya
bila sudah diketahui fakta yang menunjukkan bahwa “Gramatika” bahasa Arab itu
bukan alat untuk membaca tulisan.
3. Metode
Pembelajaran Kosa Kata
Perbaikan sistem
pengajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan formal diawali dengan
Kurikulum Tahun 1976. Kurikulum tersebut mengembangkan sistem pengajaran bahasa
Arab yang dikenal dengan all in one system. All in one system ini waktu itu
merupakan gagasan Menteri Agama R I, Prof. Dr. HA. Mukti Ali. Metode yang
digunakan adalah aural-oral approach, sesuai dengan perluasan tujuan pengajaran
bahasa Arab, untuk mencapai semua kemahiran berbahasa (Abd. Rahman Shaleh:
1988, 8).
Dengan all in one system
maka pengajaran didasarkan pada satu kesatuan materi dan bukan pada
cabang-cabang materi bahasa Arab yang bermacam-macam. Dengan demikian materi
pelajarannya meliputi materi membaca, mengungkapkan, menghafal, menulis,
latihan nahwu sharaf, dan sebagainya yang kesemuanya saling berkaitan (Abd
al-’Alim Ibrahim: tt., 34).
Kelihatan bahwa metode yang digunakan selalu terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa yang masih mengarah pada pencapaian kemahiran atau keterampilan. Dewasa ini dengan berbagai kajian kritis dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Arab tidak bertujuan untuk empat keterampilan. Keterampilan berbahasa, khususnya bahasa Arab, hanya dua yaitu ketarampilan menyimak atau mendengar dan mengucapkan atau berbicara. Dalam kajian metode pembelajaran bahasa Arab disini dikhususkan untuk pembelajaran kosa kata. Tentu saja metode-metode pembelajaran bahasa Arab secara umum tidak dapat digunakan dengan efektif dan efisien.
Materi pembelajaran bahasa Arab secara garis besar ada dua macam yaitu kosa kata dan aturan pemakaian atau gramatikanya. Untuk menguasai kedua materi tersebut berbeda caranya karena berbeda jenisnya. Jenis pertama, yakni kosa kata berupa ucapan yang harus dihafal tanpa harus dipikirkan atau dirasionalisasikan, sedangkan jenis kedua, yakni gramatika merupakan materi pemba-hasan yang tidak cukup hanya dihafal saja tetapi memerlukan pe-mikiran serta aktivitas analogi. Ini semua hanya tinjauan dari masyarakat non-Arab, karena bagi bangsa Arab sendiri materi pembelajaran bahasa Arab tidak perlu dipilah-pilah. Mereka sudah hafal kosa kata, dan cara memakainya juga sudah secara otomatis gramatically. Mereka tidak akan salah seperti kita mengucapkan bahasa kita sendiri sebagai bahasa ibu.
Terhadap jenis materi bahasa Arab yang pertama, yakni kosa kata, maka cara mepelajarinya cukup dengan menghafal saja. Menghafal suatu kata tentunya dengan cara mengerti maksudnya. Masalahnya berada dalam cara menghafal dengan mudah dan dapat mempergunakannya dengan mudah pula. Disebutkan bahwa metode yang baik adalah yang menggunakan banyak latihan atau drill, karena bahasa adalah kemampuan (Malakah) yang tidak bisa dicapai hanya dengan kaedah, tetapi dengan latihan dan pengulangan (Chatibul Umam: 1980 43). Kalau semua metode itu mementingkan pengulangan maka semuanya bisa dipakai karena hanya dengan pengulangan maka kosa kata dapat dihafal dan dikuasai untuk dipergunakan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penghafalan kosa kata itu tidak harus menghabiskan waktu, misalnya dengan pengulangan lebih dulu dalam kalimat tanpa memahami makudnya, ke-mudian setelah itu diterangkan maksudnya, baik dengan isyarat atau dengan alat peraga atau dengan keterangan berbahasa Arab langsung tanpa terjemahannya. Praktek demikian menghabiskan waktu dan sama sekali tidak cocok bagi orang atau mahasiswa yang sudah dewasa yang tidak memerlukan lagi pengulangan seperti itu. Karena itu metode langsug tidak mesti baik. Bahkan boleh jadi dengan cara menterjemahkan langsung justru bisa dipahami dan dihafal dengan cepat.
Kelihatan bahwa metode yang digunakan selalu terkait dengan tujuan pembelajaran bahasa yang masih mengarah pada pencapaian kemahiran atau keterampilan. Dewasa ini dengan berbagai kajian kritis dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Arab tidak bertujuan untuk empat keterampilan. Keterampilan berbahasa, khususnya bahasa Arab, hanya dua yaitu ketarampilan menyimak atau mendengar dan mengucapkan atau berbicara. Dalam kajian metode pembelajaran bahasa Arab disini dikhususkan untuk pembelajaran kosa kata. Tentu saja metode-metode pembelajaran bahasa Arab secara umum tidak dapat digunakan dengan efektif dan efisien.
Materi pembelajaran bahasa Arab secara garis besar ada dua macam yaitu kosa kata dan aturan pemakaian atau gramatikanya. Untuk menguasai kedua materi tersebut berbeda caranya karena berbeda jenisnya. Jenis pertama, yakni kosa kata berupa ucapan yang harus dihafal tanpa harus dipikirkan atau dirasionalisasikan, sedangkan jenis kedua, yakni gramatika merupakan materi pemba-hasan yang tidak cukup hanya dihafal saja tetapi memerlukan pe-mikiran serta aktivitas analogi. Ini semua hanya tinjauan dari masyarakat non-Arab, karena bagi bangsa Arab sendiri materi pembelajaran bahasa Arab tidak perlu dipilah-pilah. Mereka sudah hafal kosa kata, dan cara memakainya juga sudah secara otomatis gramatically. Mereka tidak akan salah seperti kita mengucapkan bahasa kita sendiri sebagai bahasa ibu.
Terhadap jenis materi bahasa Arab yang pertama, yakni kosa kata, maka cara mepelajarinya cukup dengan menghafal saja. Menghafal suatu kata tentunya dengan cara mengerti maksudnya. Masalahnya berada dalam cara menghafal dengan mudah dan dapat mempergunakannya dengan mudah pula. Disebutkan bahwa metode yang baik adalah yang menggunakan banyak latihan atau drill, karena bahasa adalah kemampuan (Malakah) yang tidak bisa dicapai hanya dengan kaedah, tetapi dengan latihan dan pengulangan (Chatibul Umam: 1980 43). Kalau semua metode itu mementingkan pengulangan maka semuanya bisa dipakai karena hanya dengan pengulangan maka kosa kata dapat dihafal dan dikuasai untuk dipergunakan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa penghafalan kosa kata itu tidak harus menghabiskan waktu, misalnya dengan pengulangan lebih dulu dalam kalimat tanpa memahami makudnya, ke-mudian setelah itu diterangkan maksudnya, baik dengan isyarat atau dengan alat peraga atau dengan keterangan berbahasa Arab langsung tanpa terjemahannya. Praktek demikian menghabiskan waktu dan sama sekali tidak cocok bagi orang atau mahasiswa yang sudah dewasa yang tidak memerlukan lagi pengulangan seperti itu. Karena itu metode langsug tidak mesti baik. Bahkan boleh jadi dengan cara menterjemahkan langsung justru bisa dipahami dan dihafal dengan cepat.
Terdapat metode yang
mendahulukan bercakap-cakap dan membaca. Metode ini amat disukai sebab bahasa
yang dipelajari itu sudah boleh digunakan untuk bercakap-cakap dengan
sesamanya. Metode demikian sesuai dengan prinsip belajar bahasa, bahwa belajar
bahasa hendaknya tidak disibukkan dengan berbagai aturan tata bahasa tetapi
cukup ditiru, dipahami dan dipakai dalam percakapan. Metode belajar bahasa
secara langsung tanpa terjemahannya disebut sebagai metode langsung atau The
Direct Method atau Natural Method atau Oral Method atau Modern Method atau
Berlitz Method (Mahmud Junus: 1979, 23). Akan tetapi bagaimana bisa langsung
bercakap-cakap kalau tidak memiliki kosa kata sama sekali? Karena itu perlu
lebih dulu menghafal kosa kata.
Kalau dipergunakan metode
langsung maka akan memakan waktu lama hanya untuk memahami satu atau dua kata
saja. Apa salahnya bila diberikan kosa kata dengan terjemahannya langsung?
Kemudian kata yang sudah dihafal itu digabung dengan kata yang lain yang juga
sudah dipahami, selanjutnya dipergunakan dengan berulang-ulang dalam
percakapan. Dalam memberikan makna atau arti kata tidak harus mempersulit diri,
misalnya dengan keterangan langsung tanpa terjemah. Jadi perlu diperhatikan
bahwa menerangkan dengan bahasa asalnya yang asing (Arab) itu hanya sekedar
untuk motivasi agar murid atau mahasiswa tidak menggunakan bahasa sendiri,
sehinga bersungguh-sungguh dalam mempergunakan bahasa Arab. Ini bisa disiasati
cukup dengan menunjukkan artinya, kemudiuan tidak mengucapkannya kecuali dengan
bahasa Arab.
Dari
telaah terhadap berbagai metode, ada beberapa metode yang patut diperhatikan
dalam menguasai kosa kata dengan efisien dan efektif. Pertama, Mimmem Method
(Mimicry and Memorization Method). Metode ini untuk menghafal. Meskipun metode
ini sering diterapkan dengan penyampaian kalimat utuh lebih dulu tetapi akan
lebih baik bila diterapkan dengan penyampaian unsur paling kecil dalam kalimat,
yakni kata. Dalam mempraktekkan Mimmem Method ini perlu digabung dengan metode
kedua, yakni Language Control Method sehingga perolehan kosa katanya
terkontrol mulai dari yang paling mudah dan sederhana sampai dengan yang paling
sukar (Juwairiyah Dahlan, 1992, 116). Penggunaan metode ini akan menjadi
benar-benar terkontrol bila diikuti dengan pemanfaatan metode ketiga, yaitu Phonetic
Method, di mana metode ini lebih membiasakan pendengaran terhadap kata-kata
terpendek dan selanjutnya pada kalimat yang panjang (Juwairiyah Dahlan: 1992,
112).
Penggunaan alat-alat
peraga itu bisa disiasati dengan langsung saja diterangkan tanpa harus
menghabiskan waktu dan beaya. Sebenarnya sederhana sekali belajar kosa kata dan
cara menghafalnya, yakni dengan digabung dengan kata-kata yang lain agar cepat
bisa menggunakan dan teringat terus. Kalau ini dikatakan sebagai metode
eklektik maka sebutan itu perlu dibatasi dengan cara mengambil yang efektif dan
efisien saja, sehingga tidak mempersulit diri seperti ketika memakai metode
langsung dengan mempersiapkan alat peraga yang biasanya terlalu mahal yang
ternyata hanya untuk memahami satu kosa kata saja. Adapun metode-metode lainnya
itu hanya sekedar untuk mengusir kebosanan.
Dalam hal teori
mengajarkan bahasa Arab, maka dikenal ada dua, yakni teori kesatuan (Nadhoriyat
al-Wihdah) dan teori bagian-bagian (Nadhoriyat al-Furu’). Untuk yang pertama sesuai
de-ngan teori gestalt yakni memahami secara keseluruhan lebih dulu selanjutnya
memahami bagian-bagian terkecil yang perlu dipahami (Mahmud Junus: 1979, 26).
Dalam kenyataannya dua teori tersebut akan dipakai pada kebutuhan tertentu,
tidak bisa dipisahkan dalam arti tidak diperlu-kan salah satunya dalam praktek
pembelajaran bahasa Arab. Hal ini mengingat bahwa pada kasus tertentu
diperlukan penelaahan untuk bagian-bagian terkecil. Oleh karena itu kedua
terori tersebut akan diperlukan pada waktu yang berbeda. Tidak perlu
diperdebatkan keunggulan dan kelemahannya karena setiap teori memiliki
kelemahan dan juga keunggulan.
Adapun gambaran
konkret untuk bahan ajar materi kosa kata kiranya dapat dipergunakan buku Durus
al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Imam Zarkasyi dan Imam
Syubani: t.t.) yang mana setiap awal bahasannya dimulai dengan pengenalan kosa
kata lebih dulu. Penggunaan buku tersebut tidak harus dengan metode langsung yang bisa
memakan waktu lama tetapi cukup sederhana dengan efektif dan efisien dalam
memberikan penjelasan arti untuk masing-masing kosa kata. Modifikasi metode
‘eklektik’ sebagaimana dikemukakan di atas dapat dipergunakan untuk menguasai
kosa kata dengan mudah.
4. Metode
Pembelajaran Gramatika (Nahwu-Sharaf)
Disebutkan bahwa
mengajarkan gramatika pada mulanya, tidak dipentingkan, melainkan dengan
diselipkan pada waktu pelajaran bercakap-cakap dan membaca. Dipandang salah
bila mengajarkan buku ilmu nahwu “Ajrumiyah” pada permulaan, sementara
subyek didik belum mengetahui bahasa Arab sedikitpun. Subyek didik tidak akan
dapat belajar kaedah suatu bahasa bila belum mengetahui kata-kata bahasa itu
(Mahmud Junus: 1979, 24). Mengajarkan nahwu dan sharaf atau ta’rif-ta’rifnya
hendaknya setelah pandai bercakap-cakap dan membaca dalam bahasa Arab (Mahmud
Junus: 1979, 26).
Menurut sistim lama, nahwu
sharaf adalah pelajaran yang mula-mula dalam pelajaran bahasa Arab. Menurut
sistim yang baru di Mesir bahwa nahwu sharaf itu belum diajarkan di kelas 1, 2,
3, dan 4 sekolah Ibtidaiyah. Hanya di kelas 5 dan 6 baru diajarkan sedikit demi
sedikit, yaitu sekedar dua jam pelajaran dalam seminggu. Di Sekolah Menengah
Pertama baru diajarkan nahwu sharaf dengan teratur (Mahmud Junus: 1979, 81).
Jadi pembelajaran ilmu nahwu baru dimulai setelah mu-rid-murid sudah memiliki
kosa kata dan bisa bercakap-cakap dalam bahasa Arab.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ilmu nahwu dan sharaf itu merupakan ilmu tata kata. Ilmu tersebut baru bisa dipergunakan dengan semestinya setelah ada kata-kata yang akan di-tata (diatur). Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu dianjurkan dimulai lebih dulu dengan pengenalan kosa kata yang akan ditata atau dengan menunjukkan lebih dulu kosa kata yang sudah tertata dengan sempurna dalam sebuah kalimat dengan pengertian yang utuh. Pengenalan kosa kata itu melalui pelajaran muhadatsah, muthola’ah, dan mahfudhat atau hafalan kalimat-kalimat yang mudah dan pendek (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa ilmu nahwu dan sharaf itu merupakan ilmu tata kata. Ilmu tersebut baru bisa dipergunakan dengan semestinya setelah ada kata-kata yang akan di-tata (diatur). Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu dianjurkan dimulai lebih dulu dengan pengenalan kosa kata yang akan ditata atau dengan menunjukkan lebih dulu kosa kata yang sudah tertata dengan sempurna dalam sebuah kalimat dengan pengertian yang utuh. Pengenalan kosa kata itu melalui pelajaran muhadatsah, muthola’ah, dan mahfudhat atau hafalan kalimat-kalimat yang mudah dan pendek (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam pembelajaran
gramatika dianjurkan untuk dipergunakan metode istimbath, yaitu mulai dengan
beberapa misal kemudian sampai mendapatkan kaedah (ta’rif). Misal-misal
tersebut hendak-nya dalam kalimat sempurna, Misal-misal itu diambil dari kisah
pendek atau dari sepotong bacaan, bukan dari misal yang tidak ada hubungan
antara satu dengan yang lainnya. Kaedah-kaedah itupun tidak perlu dipaksakan
untuk dihafal secara tekstual, agar tidak mematikan otak untuk berfikir.
Misal-misal itu diberikan sebanyak mungkin serta menarik dan mempunyai
pengertian yang benar. Contoh-contoh yang telah lama (sudah tidak relevan)
dihindari. Kemudian subyek didik berlatih membuat dan memberi contoh sendiri,
supaya mereka aktif dalam pelajaran. Latihan demikian ini perlu sesering
mungkin (Mahmud Junus: 1979, 81-2).
Dalam
pembelajaran gramatika tidak perlu dijelaskan lebih dulu hal-hal yang syadz
(jarang dipakai, aneh-aneh atau pengecualian), karena akan menyulitkan ingatan
atau menyebabkan kebingungan. Perlu diperbanyak uslub-uslub yang berlaku saja, tidak perlu
diberikan contoh yang keliru sebagai latihan untuk dibetulkan, karena metode
demikian ini menyusahkan dan bertentangan dengan metode-metode pendidikan yang
baik, tetapi hendaknya lebih diperbanyak contoh-contoh yang betul saja agar
tertanam yang benar itu dalam pikiran. Selanjutnya untuk latihan dan bimbingan
maka diberikan latihan penerapan kaedah-kaedah nahwiyah dengan bimbingan
terus-menerus melalui koreksi catatan yang dibuat (Abubakar Muhammad: 1981,
85-6).
Dari gambaran anjuran di
atas, yang tentunya berdasarkan pengalaman yang lalu, maka akan sangat efektif
dan efisien bila pembelajaran nahwu-sharaf mengikuti langkah-langkah berikut:
v Penyiapan bacaan ringan
yang mengandung kalimat atau ungkapan untuk contoh yang akan dijadikan
pembahasan berkaitan dengan suatu topik gramatika.
v Pemahaman terhadap bacaan ringan dengan
berbahasa Arab sederhana.
v Pembahasan kalimat atau ungkapan contoh dari
segi gramatikanya.
v Penyimpulan dan penyusunan kaedah gramatika
untuk contoh yang telah dipersiapkan.
v Pelatihan sebagai repetisi dengan membuat
contoh lain sesuai kaedah yang dihasilkan.
Lima langkah tersebut
disusun demikian ringkas untuk memudahkan ingatan. Masing-masing langkah
berdasarkan pada prinsip-prinsip pembelajaran bahasa. Pada langkah pertama maka
contoh yang dipersiapkan bukan kalimat lepas, tetapi kalimat yang berkaitan
dengan pemahaman lainnya sehingga mudah untuk diingat, seperti dalam sebuah
cerita. Langkah kedua merupakan kegiatan me-mahami dan atau menguraikan maksud
contoh dengan bahasa Arab sederhana, bisa juga memakai bahasa harian yang
‘Amiyah sekedar untuk membantu kalau belum bisa menggunakan bahasa dengan baik.
Langkah ketiga mendiskusikan bentuk kata dari segala seginya sampai dengan
i’rabnya. Langkah keempat berusaha membuat kaedah tata bahasa bersama-sama dan
selanjutnya disempurnakan sesuai dengan kaedah yang sudah ada. Langkah terakhir
adalah upaya agar diperoleh keterampilan berbahasa dengan cara mene-rapkan
kaedah tersebut pada percakapan tertentu atau dengan menunjukkan kalimat yang
sepadan dalam teks-teks bahasa Arab.
Demikian
pembelajaran gramatika diselipkan pada pemahaman terhadap bacaan, yang berarti
pembelajaran gramatika itu sudah didahului dengan belajar kosa kata dan setelah
bisa bercakap-cakap meskipun dengan sederhana.
Adapun buku-buku
gramatika bahasa Arab yang hanya berisi contoh-contoh kalimat lepas yang ada
selama ini, maka peman-faatannya bisa sekedar untuk bahan rujukan dan untuk
menambah ingatan serta pendalaman lebih lanjut bagi para senior. Dengan demikian maka
pembelajaran ilmu nahwu-sharaf menjadi mudah karena sudah didahului dengan
pemahaman terhadap contoh yang ditampilkan. Masalahnya akan muncul pertanyaan:
“Kalau sudah dapat memahami percakapan berbahasa Arab maka untuk apa
mempelajari ilmu nahwu sharaf?”
Memang, ilmu nahwu-sharaf
dipakai agar dapat memahami maksud ungkapan atau kalimat bahasa Arab dalam
segala bentuknya. Dengan ilmu nahwu-sharaf itu pula subyek didik dapat
mengungkapkan bahasa Arabnya secara lisan dengan betul sesuai dengan tradisi
bahasa Arab standar sehingga dapat dipahami oleh pihak yang mendengar atau oleh
pihak yang membaca bila ungkapan itu dituliskan.
Dari kajian tersebut di
atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran ilmu nahwu-sharaf itu erat
kaitannya dengan pem-belajaran bahasa Arab fusha (standar). Pada tataran
percakapan sederhana yang mudah dipahami maka ilmu nahwu-sharaf tidak begi-tu
diperlukan. Oleh karena itu pembelajaran ilmu nahwu-sharaf tidak begitu menarik
perhatian kecuali bagi pihak-pihak yang berkecimpung dalam pemakaian bahasa
Arab fusha. Dari sini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “mampu
berbicara bahasa Arab” yang dianjurkan sebelum mempelajari ilmu nahwu-sharaf
itu adalah mampu berbicara sederhana atau dengan bahasa ‘Amiyah, tanpa terikat
aturan bahasa Arab Fusha. Jadi belajar ilmu nahwu-sharaf tersebut adalah dalam
rangka membetulkan ungkapan-ungkapan bila terdapat kekeliruan yang menyebabkan
tidak dapat dipahami.
*Saidun Fiddaroini, Strategi Pengembangan Pendidikan Bahasa Arab (Surabaya: Jauhar, 2006),
Kepustakaan
Abd al-’Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanniy li Mudarrisi al-Lughah al’Arabiyah (Beirut: Dar al-Ma’arif tt.).
Abd al-’Alim Ibrahim, Al-Muwajjih al-Fanniy li Mudarrisi al-Lughah al’Arabiyah (Beirut: Dar al-Ma’arif tt.).
Abd. Rahman Shaleh, Sistem
Pengajaran Bahasa Arab di Lembaga Pendiikan Formal, dalam Mimbar Ulama
(Jakarta: No. 127 Tahun XII Edisi Maret 1988).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981).
Anonim, Al-’Arabiyah al-Muyassaroh ‘Ala Thoriqot al-Qiro’ah (Surabaya: Sentra kajian bahasa IAIN Sunan Ampel:1998).
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).
Imam Zarkasyi dan Imam Syubani, Durus al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Gontor Ponorogo: Trimurti, t.t.).
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab (Surabaya: Al Ikhlas, 1992).
Mahmud Junus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa Al-Qur’an) (Jakata:PT Hidakarya Agung, 1979).
Muhammad Ali al-Khulli, Asalib Tadris al-Lughah al-’Arabiyah (Riyadh, Al-mamlakah al-’Arabiyah as-Sa’ufiyah, 1982).
Muljanto Sumardi et. al., Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, Depag RI, 1973).
Muljanto Sumardi et.al., Pengajaran Bahasa Asing: Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Sri Utari Subyakto Nababan, MetodologiPengajaran Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Suyitno, Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Bahasa (Yogyakarta: Hanindita, 1986).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 85-6.
Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaranb Bahasa Arab dan Inggeris (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982).Lang
Willian Francis Mackey, Language Teaching Analyses (London: Longman, 1974).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981).
Anonim, Al-’Arabiyah al-Muyassaroh ‘Ala Thoriqot al-Qiro’ah (Surabaya: Sentra kajian bahasa IAIN Sunan Ampel:1998).
Azhar Arsyad, Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
Chatibul Umam, Aspek-aspek Fundamental dalam Mempelajari Bahasa Arab (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980).
Imam Zarkasyi dan Imam Syubani, Durus al-Lughah al-’Arabiyah ‘Ala al-Thoriqoh al-Haditsah (Gontor Ponorogo: Trimurti, t.t.).
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab (Surabaya: Al Ikhlas, 1992).
Mahmud Junus, Metodik Khusus Bahasa Arab (Bahasa Al-Qur’an) (Jakata:PT Hidakarya Agung, 1979).
Muhammad Ali al-Khulli, Asalib Tadris al-Lughah al-’Arabiyah (Riyadh, Al-mamlakah al-’Arabiyah as-Sa’ufiyah, 1982).
Muljanto Sumardi et. al., Pedoman Pengajaran Bahasa Arab Pada Perguruan Tinggi Agama (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, Depag RI, 1973).
Muljanto Sumardi et.al., Pengajaran Bahasa Asing: Sebuah Tinjauan dari Segi Metodologi (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).
Sri Utari Subyakto Nababan, MetodologiPengajaran Bahasa (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993).
Suyitno, Teknik Pengajaran Apresiasi Sastra dan Kemampuan Bahasa (Yogyakarta: Hanindita, 1986).
Abubakar Muhammad, Methode Khusus Pengajaran Bahasa Arab (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 85-6.
Umar Asasuddin Sokah, Problematika Pengajaranb Bahasa Arab dan Inggeris (Yogyakarta: CV. Nur Cahaya, 1982).Lang
Willian Francis Mackey, Language Teaching Analyses (London: Longman, 1974).
Komentar
Posting Komentar