Politik Pendidikan; Sebuah Perspektif Kekinian

Carut Marut Pendidikan Nasional

Politik Pendidikan; Sebuah Perspektif Kekinian


Ketika Metro TV menayangkan sebuah wawancara eksklusif dalam acara Kick Andy bertajuk Kepala Sekolahku Pemulung, hampir semua penonton di studio yang menyaksikan secara langsung wawancara itu menitikkan airmata, bahkan mungkin di luar studio, jutaan pemirsa acara popular itu terharu. Wawancara Eksklusif Kepala Sekolahku Pemulung mengisahkan sebuah tragedy kehidupan seorang Kepala Sekolah yang, karena kecilnya jaminan kesejahteraan diterima di sekolah, berusaha memenuhi desakan hidup keluarganya dengan menjadikan pemulung sebagai alternative menambah penghasilan rumah tangganya.[1] Ironisnya, pengungkapan realitas ini, seiring dengan pengumuman beberapa media massa terpopuler di Negara ini yang menempatkan Abu Rizal Bakrie, Yusuf Kalla dan sejumlah penguasa dalam jajaran kabinet Indonesia bersatu sebagai orang terkaya di Indonesia.[2] Kenyataan ini, kemudian memicu sebuah pertanyaan, apa sesungguhnya yang terjadi dengan realitas kebijakan pendidikan kita ? Meskipun pertanyaan serupa selalu diajukan ketika kebanyakan orang di negeri ini mempersoalkan rendahnya biaya pendidikan, pembiayaan yang tidak sesuai dengan UUD 1945, minimnya kesejahteraan guru, perburuan sertifikat oleh para guru, kontroversi ujian akhir nasional, rendahnya indeks seumber daya manusia Indonesa, dan sebagainya. Lalu, mengapa permasalahan-permasalah diseputar pendidikan tidak kunjung terpecahkan, disaat Universitas Mantan IKIP (UMI) banyak menamatkan para sarjana pendidikan yang dianggap bisa berpikir tentang pendidikan? Benarkah kekosongan, bisa juga disebut minimnya, wawasan politik sebagai faktor penyebab tak kunjung selesainya problem pendidikan di Indonesia ? mengingat akar persoalan semuanya ada dalam siklus permasalahan state (Negara), pemerintah dan institusi-institusi politik. Disamping, peran elit pemerintah yang tidak terlepas dari keberadaan elit politik.Inilah yang kemudian menjadi konsern paper bertajuk Politik Pendidikan, sekedar mencoba mendeskripsikan beberapa padangan anggota kelompok tentang pengaruh-pengaruh factor politik dalam baik buruknya pendidikan di Indonesia. Dengan modal kekosongan discourses politik pendidikan, makalah ini mencoba memberikan gagasan awal. Karena disamping relatif muda, kajian ini hanyalah pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan seperti kajian politik dan kajian pendidikan. Sehingga, berbicara tentang politik pendidikan, kerap dipertanyakan baik oleh kami sendiri sebagai sarjana pendidikan maupun sarjana politik, khususnya pada aspek kelayakan dari sisi ontologis, epistemologis dan aksiologi.
Politik Pendidikan or Pendidikan Politik ?
Paulo Freire yang mengatakan bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, [3]karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Tetapi seiring dengan pernyataan tersebut muncul sebuah perntanyaan; apa jadinya bila dunia pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik ? Pertanyaan ini menyoal tentang makna pendidikan politik ataukah politik pendidikan. Karena itu perlu penjelasan yang sedikit detail membedakan keduanya.
Dale mebedakan antara politik pendidikan dan pendidikan politik dengan mengemukakan pernyataanya. Menurutnya, pendidikan politik adalah studi terhadap efektifitas sistem pendidikan dan bentuk-bentuk pengelolaan pendidikan dalam mencapai tujuan yang dibebankan kepada mereka. Dale kemudian mengemukakan tiga ciri utama studi ini; (1) mempertanyakan proses pembuatan keputusan, (2) mereduksi politik menjadi administrasi, dan (3) terfokus pada machinary (perangkat kerja).[4] Sedangkan politik pendidikan menurut Dale adalah relasi antara produksi tujuan-tujuan dan bentuk-bentuk pencapainya. Fokusnya ada pada kekuatan yang menggerakkan machinary , bagaimana dan dimana machinary tersebut diarahkan. Konsentrasi kajian politik pendidikan bagi Dale ada pada peranan negara. Ia yakin dengan melalui studi tentang politik pendidikan dapat menerangkan pola-pola, kebijakan, dan proses pendidikan dalam masyarakat secara memadai, disamping memungkinkan kita untuk mempertanyakan persoalan-persoalan diseputar asumsi, maksud dan outcome berbagai strategi perubahan pendidikan.[5]
Istilah politik pendidikan merupakan proses pembuatan keputusan-keputusan penting dan mendasar dalam bidang pendidikan baik ditingkat lokal maupun nasional[6]. Definisi ini dikemukakan Kimbroug dengan meminjam pengertian politik yang disampaikan Kammerer sebagai proses pembuatan keputusan-keputusan penting yang melibatkan masyarakat luas. Kimbroug lalu menyatakan bahwa pendidikan publik bersifat politis. Mereka yang terlibat dalam manajemen pendidikan publik adalah para politisi, manakala mereka menuntut keputusan, harus melalui proses politik.[7] Dari pernyataan Kimbrough ini kita dapat menyatakan bahwa proyek-proyek penting dalam bidang pendidikan terkait dengan konsep ekonomi, sistem sosial, keuangan, fungsi pemerintah, dan bisinis yang kesemuanya melahirkan aktivitas politik dan bersifat partisan. Oleh sebab itu para pimpinan lembaga pendidikan akan berhasil, jika memahami elemen-elemen penting dari struktur kekuasaan dan menggunakan pengetahuan ini dalam melaksanakan politik sekolah. Ketidaktahuan atas proses politik, pimpinan lembaga pendidikan akan mengalami disinformasi tentang sejauhmana prsedur demokratis terlibat dalam pembuatan keputusan. Para administrator pendidikan saatnya harus melihat aktor-aktor lain dalam sistem pengambilan keputusan. Pada konteks berfikir seperti inilah wawasan tentang politik pendidikan penting bagi siapapun yang konsern dengan persoalan pendidikan.
Berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan di atas politik pendidikan, dapat dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan untuk mendesakkan kebijakan pendidikan. Sifatnya, bisa keras dan bisa lunak[8]. Politik pendidikan dikategorikan keras apabila melibatkan kekuatan (fisik) untuk mendesakkan implementasi kebijakan tertentu. Sebaliknya, politik pendidikan lunak menekankan implementasi kekuasaan secara halus (subtle) lewat strategi taktis. Aksi pemogokan guru, unjuk rasa para guru, merupakan wujud politik pendidikan yang keras. Dalam aksi itu, para pendidikan mengolah potensi kekuasaan kolektifmogokuntuk menghasilkan kekuatan nyata guna memengaruhi tatanan keseharian masyarakat (menghentikan kegiatan belajar-mengajar). Strategi politik seperti itu digunakan untuk melawan politik lunak pemerintah terkait anggaran pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru dan sebagainya. Sementara upaya yang dilakukan oleh kalangan Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia dengan jalan memberi masukan kepada pemerintah tentang kebijakan pendidikan merupakan bagian dari strategi politik lunak. Pencantuman pasal tentang besaran anggaran pendidikan yang harus dilaksanakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam UUD 1945 merupakan keberhasilan dalam menjalankan strategi lunak para pendidik.
Kalangan pendidik saatnya mencoba menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela. Paling tidak kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi; namun ke depan,ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik.
Inilah yang disebut dengan keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik. Inilah ang belakangan disebut sebagai pendidkan politik.
Fungsi Politik Pendidikan
Paling tidak ada dua pernyataan yang turut mempengaruhi berkembangnya pemikiran politik pendidikan. Pernyataan pertama dikemukakan oleh David Easton dalam artikel terkenalnya The Function of Formal Education in a Political System pada tahun 1957 dan Thomas H. Eliot dengan artikelnya American Political Science Review ada tahun 1959. easton mengatakan bahwa institusi pendidikan memainkan fungsi politik penting dan membuktikan secara singkat sebagai agen sosial politik.[9] Eliot mendemonstrasikan aspek-aspek politik di tingkat lokal. Ia mengatakan bahwa suka atau tidak suka, para pengelola sekolah terlibat dalam politik, karena sekolah-sekolah lokal adalah unit-unit pemerintahan. Eliot menegaskan bahwa politik mencakup pembuatan keputusan-keputusan pemerintah, dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan tersebut.[10] Sekolah-sekolah publik adalah bagian dari pemerintah. Maka dari itu lembaga ini merupakan entitas politik.
Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat menyelami nilai manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian ini menungkapkan cara-cara yang digunakan kelompok-kelompok kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan ini, maka studi politik pendidikan mengungkapkan cara-cara yang ditempuh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat posisinya dan menutup peran-peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya, bagaimana rezim otoriter memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan memperkuat sentimen kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan negara. Perntanyaanya adalah bagaimana hal itu dilakukan? Tentu dalam hal dimana institusi pendidikan memiliki ketergantungan terhadap rejim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah dan Perguruan Tingi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah, terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya. Sekolah dan Perguruan Tingi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari pemerintah, dan dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim berkuasa memiliki ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan begitu, pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal. Diantara berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan.
Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembagan kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam rangka menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka membangun warga negara yang baik? Kajian tentang hal ini telah banyak dijawab dalam beberapa karya Reisner (1992), McCully (1959), Talmon (1952), dan Cobban (1938). Dari mereka para pendidik mendapatkan pernyataan bahwa sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif. Para insan pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka pada pengembangan program-program pelatihan kewarganegaraan dengan mempromosikan kesetiaan kepada gagasan pemerintahan demokrasi.
Dale dan Apple, (1989) melihat fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu terbangun dan mengalami kehancuran.[11]Perubahan kurikulum disetiap periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah salah satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.
Geo-Politik Pendidikan
Pendidikan adalah pertaruhan masa depan bangsa. Pengalaman Jepang, Malaysia, dan Korea menunjukkan, pendidikan adalah solusi fundamental keterpurukan bangsa. Selama ini politik pendidikan kita tidak didasarkan pada teori ilmiah dan pengalaman empirik sendiri, tetapi menyandarkannya pada spekulasi dan naluri orang- orang tertentu. Ketergesa-gesaan menjadikan ide-ide individual sebagai kebijakan publik, tanpa mempertimbangkan substansi dan signifikansinya telah memerosotkan kualitas pendidikan. Sebagai sebuah solusi fundamental, maka pendekatannya juga harus lebih fundamental. Salah satu bagian fundamental dari politik pendidikan adalah melihatnya dari sisi geo-politik. Mungkin istilah geo politik pendidikan kurang akrab ditelinga dan dalam pikiran para pendidik maupun ahli politik. Mengingat perbincangan tentang politik menekankan pada domain state (negara) maka mau tidak mau kajian politik pendidikan harus menyentuh negara dalam pengertian ruang atau ruang dalam pengertian negara.
Seperti kita ketahui bersama bahwa negara memiliki pengertian yang terus berkembang, mulai dari pernyataan pertama kali disampaikan oleh Kaisar Romawi Ulpianus sampai dengan era Martin Ira Glassner. Negara merupakan suatu organisasi politik teritorial suatu bangsa yang mempunyai kedaulatan. Glassner menyatakan bahwa negara adalah suatu tempat dan atau suatu konsep yang diwakili oleh sejumlah simbol tertentu yang menuntut kesetiaan dari orang-orang yang menempatinya.[12] Dale mengatakan bahwa negara bukanlah pemerintah, pemerintah hanyalah salah satu bagian dari negara. Negara terdiri dari berbagai institusi yang masing-masing memiliki fungsi dan peran tersendiri dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Negara meliputi institusi-institusi lain seperti militer dan polisi.[13] Dari pendapat di atas dapat dirumuskan beberapa kata kunci untuk menyebut negara yaitu wilayah politik terorganisir, memiliki batas-batas wilayah yang disepakati negara tetangga, kesetiaan penduduk terhadap keutuhan negara yang bersangkutan, dan memiliki pemerintahan.
Berangkat dari pengertian negara sebagai sebuah wilayah politik, maka perspektif geo-politik atau geografi politik memiliki objek yang sama dengan negara. Hanya saja dalam berbagai literatur geo politik disebutkan bahwa negara adalah political region yang di dalamnya mempelajari relasi antara kehidupan dan aktivitas politik dengan kondisi-kondisi alam suatu negara. Dalam satu negara, seperti yang disebut di atas memiliki institusi-institusi di dalamnya dan saling berinteraksi, maka paling tidak ada tiga institusi yang memegang peran penting di dalamnya. Ketiganya, Institusi Pemerintah, Institusi Swasta, dan Institusi Masyarakat. Ketiga aktor ini dalam analisis geo politik menjadi bagian penting yang dapat dipetakan berdasarkan penguasaan mereka terhadap sumber daya negara. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan The World Bank, paling tidak ada hanya ada dua aktor yang sangat berpengaruh dalam penguasaan sumber daya negara di Indonesia, untuk tidak mengatakan betapa lemahnya peran aktor yang berasal dari institusi masyarakat.[14] Penguasaan oleh kedua aktor itu menghasilkan 3 klasifikasi kawasan yakni kawasan telah berkembang, kawasan sedang berkembang, dan kawasan pengembangan baru. Pengklasifikasian ini didasarkan pada analisis keterlibatan Institusi Pemerintah dan Institusi Swasta dalam mengelola sumber daya negara. Selengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
new-picture-3.png

Berdasarkan klasifikasi atas institusi yang berperan sebagaimana di atas, maka secara ril dalam geografi dapat diterjemahkan seperti peta berikut ini.
new-picture.png

Pemetaan ini melahirkan pengkalsifikasian wilayah negara Idonesia dalam 3 kelompok gugusan propinsi. Gugusan provinsi pertama, adalah yang dinilai telah berkembang, karena peran pemerintah berkurang dan digantikan dengan peran-peran swasta, dimana propinsi itu berada di kawaban Jawa dan Sumatera. Gugusan propinsi kedua adalah dinilai sedang berkembang karena peran pemerintah dan swasta berada dalam neraca yang seimbang, dimana provinsi itu berada di pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara. Sedangkan Gugusan Propinsi ketiga adalah dinilai pengembagan baru karena peran pemerintah dominan dari swasta, dimana itu terdapat dikawasan Papua dan Maluku.
Dengan pendekatan ini, kita kemudian menggali sisi geo politik Indonesia yang berada dalam silang benua, Asia dan Australia dan silang Samudera Pasifik dan Atlantik. Disamping Indonesia memiliki negara tetangga terdekat yakni Malaysia, Singapura, Brunei dan Philipina yang relatif lebih maju dari sisi ekonomi dan pertahanan keamanan. Ditambah dengan keberadaan Negara Timor Leste yang sangat dekat dengan Indonesia, serta Australia yang berada dibawahnya.
Dari pemahaman atas persoalan geografi ini maka sebenarnya Indonesia secara geo politik berada pada garis krusial. Karena secara otomatis, keberadaan negara tentangga yang memiliki pertahanan keamanan kuat, ekonomi relatif kuat, di tambah dengan posisi Timor Leste yang sebenarnya dekat dengan Indonesia tetapi berpotensi sebagai basis pertahanan negara lain seperti Australia, menyebabkan Indonesia berada pada posisi terhimpit. Belum masalah-masalah lain yang terjadi di Indonesia sendiri seperti, sistem pertahanan keamanan yang lambat-laun relatif lemah akibat ketiadaan anggaran untuk modernisasi persenjataan.
Dalam konteks berfikir seperti inilah, pendidikan sebagaimana disebutkan di atas menjadi wahana untuk membangun karakter kebangsaan yang kuat bagi generasinya, agar keutuhan wilayah tetap terjaga. Pendidikan harus menjadi basis kekuatan nir militer yang tangguh untuk menjaga ketahan bangsa dan negara dari setiap potensi ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Pada landasan berfikir inilah, geo politik pendidikan memegang peran penting untuk dalam memberi gagasan segar tentang urgensi ketahanan bangsa. Dengan kata lain, wawasan geo-politik pendidikan akan menjadi pengganti peralatan militer yang minim seperti saat ini, menjadi safe guard bagi bangsa.
Catatan Kaki[1] Kick Andi, Kepala Sekolahku Pemulung, Metro TV 8 November 2007[2] Kompas, Berita . [3] Politik Pendidikan, Paolo Freire, lanjutkan foot note ini dengan baca bukunya sarifudin
[4] Roger Dale, The State and Education Policy, Milton Keynes, UK: Open University Press, 1989, h.24.
[5] Ibid. h.25
[6] Kimbrough, Political Powerand Educational Decision-Making, Chicago: Rand Mcnally & Company, 1964, h.274.
[7] Ibid.
[8] Agus Suwignyo, Politik Pendidikan, artike, Kompas, 26 Januari 2008.
[9] David Easton, The Function of Formal Education in a Political System, School Review Vol.65, autumn, 1957, h.304-416.
[10] Thomas Eliot, Toward an Understanding of Public School Politics, American Political Science Review. Vol. 53, No. 4, December, 1959, h.1032-1051
[11] Michael W. Aple, Common Curricullum and State Control, Discourse, 2 (2), 1982, h. 1 dan Roger Dale, Loc.Cit. h. 2
[12] Martin Ira Glassner, Political Geography, Jhon Wiley & Sons, Inc., New York 1993, h.23
[13] Roger Dale, Loc.Cit. h. 4
[14] The World Bank, World Development Report, Washington D.C. 2007, h. 109.

Komentar

Postingan Populer