Budaya SULAWESI SELATAN
PROVINSI SULAWESI SELATAN

Propinsi Sulawesi Selatan dengan
ibukota Makassar terletak di jazirah Barat Daya dari pulau Sulawesi. Di sebelah
Utara berbatasaan dengan propinsi Sulawesi Tengah, di sebelah Timur berbatasan
dengan teluk Bone, di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores dan sebelah
Barat dengan selat Makasar.
Propinsi ini didiami oleh banyak
suku bangsa, yang terbesar adalah suku Bugis, suku Makasar, dan Mandar memiliki
banyak persamaan dalam adat istiadat dan unsur kebudayaannya. Perbedaannya terletak
pada bahasanya dan beberapa hal lainnya. Ketiga suku tersebut terkenal sebagai
pelaut yang ulung dan gagah berani, di mana mereka sering berlayar dan merantau
sampai kemana-mana, mengarungi samudra luas. Sehingga daerah-daerah di
Nusantara terutama daerah pantai akan dijumpai orang Bugis, atau orang
Makasar
maupun orang Mandar yang bermukim, dan biasanya mereka sebagai nelayan, pelaut
atau pedagang.
Lain halnya dengan suku Toraja
yang mendiami daerah pedalaman, mereka mempunyai bahasa daerah sendiri serta
unsur-unsur kebudayaan yang khas, berbeda dengan ketiga suku tersebut di atas.
Maka pencaharian pokok penduduk
Sukawesi Selatan adalah bertani, baik pertanian ladang, sawah dan lain-lain.
Selain itu perikanan di laut, danau, tebat, empang maupun sungai juga
diusahakan oleh penduduk sebagai tambahan. Sedangkan kerajinan tenun menenun
sejak dahulu sudah diketahui oleh kebanyakan tenun menenun sejak dahulu sudah
diketahui oleh kebanyakan penduduk, dan hasilnya berupa sarung Bugis atau
sarung mandar sangat digemari dan terkenal sampai ke luar daerahnya.
Di Sulawesi Selatan terdapat
peninggalan sejarah berupa bekas-bekas kerajaan seperti kerajaan Gowa, Tallo,
kerajaan Bone, Sopeng, Wajo, Luwu, Sindereng, Sawitto, kerajaan-kerajaan Mandar
dan Toraja. Selain itu ada pula yang berupa benda-benda pusaka kerajaan,
makam-makam raja-raja dan buku-buku lontar.
Di masa kerajaan Gowa, ibukota
dan bandar terbesar adalah Sombaopu, yang banyak disinggahi kapal-kapal bukan
saja dari Nusantara, melainkan kapal-kapal dari kota dan bandar yang
menghubungkan wilayah Nusantara bagian barat dengan wilayah Nusantara bagian
timur, serta kota pelabuhan teramai pada waktu itu. Namun pada taun 1669 karena
kerajaan Gowa dengan benteng Sombaopunya yang terbesar melawan kumpeni Belanda
dengan sekutu-sekutunya, maka benteng Sombaopu telah dimusnahkan dan diratakan
dengan tanah oleh kompeni Belanda. Sejak itu Kota terbesar dan bandar teramai
diwariskan atau digantikan oleh Makasar atau Ujunga Pandang hingga saat ini.
Kota Makassar dan sekitarnya
memiliki peninggalan-peninggalan yang mempunyai nilai sejarah, antar lain
Benteng Ujung Pandang yang sudah dipugar dan dijadikan pusat kebudayaan, makam
raja-raja dan pembesar. Gowa seperti Sultan Alaudin, Sultan Muhammad, Karaeng Pattingalonga,
Syech Yusuf dan Aru Palaka. Juga makam pahlawan nasional Pangeran Diponegoro dan
Sultan Hasanudin.
Sultan Hasanuddin adalah raja
Gowa yang ke-16, dengan nama lengkap : Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karadug Bintonganape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangka,
Sultan Hasanuddin telah diangkat sebagai pahlawan Nasional oleh pemerintah
dengan surat keputusan Presiden tanggal 6 November 1973. Penghargaan ini
diberikan karena jasanya melawan VOC pada abad ke 17, yang dipimpin oleh
Speelman. Karena keberaniannya, oleh musuh-musuhnya beliau dijuluki: Ayam
jantan dari timur.
Sulawesi Selatan kaya akan
kesenian, terutama seni tarinya yang dibawakan oleh penari-penari cantik dengan
pakaian adatnya yang disebut baju bodo, serta sarung sutera yang halus
berwarna-warna sangat indah dan ceria. Tarian di daerah ini yang terkenal
adalah tari Passulo, tari Pattenung, tari Pakarena, tari Pattuddu, tari
Pagellung, tari Pajaga, Genrang Bulo dan lain-lainnya. Sedangkan lagu-lagu
daerah yang sangat digemari dan dikenal hingga di lain daerah adalah lagu angin
mamiri, lagu Ati Raja, lagu Pakarena dan sebagainya. Lagu-lagu ini bersyairkan
dan bernada tradisional akan tetapi karena populernya telah menjadi lagu pop di
Nusantara.
Permainan rakyat Sulawesi
Selatan yang terkenal dan digemari adalah sepak raga dengan bola yang disebut
Pa raga, permainan massemba, permainan adu kerbau, pacuan kuda, lomba layar,
berburu rusa dan lain-lain. Berburu rusa dahulu dilakukan dengan menunggang
kuda dan memakai jerat bertangkai untuk menangkap rusa hidup-hidup, merupakan
olah raga yang digemari oleh orang-orang Bugis-Makasar. Berburu rusa seperti
ini selain memerlukan ketrampilan dan keneranian juga memerlukan ketangkasan
berkuda. Dahulu permainan seperti ini sering disaksikan oleh raja-raja dan
putri-putri istana, sehingga bagi seorang pemuda yang menunjukkan ketangkasan
dan keunggulannya, menjadi pujaan gadis-gadis bangsawanyang cantik-cantik.
Karena itu tidak mengherankan bila banyak pemuda Sulawesi Selatan yang tangkas
mengendarai kuda, yang pada jaman dahulu merupakan latihan ketangkasan yang
diwajibkan bagi para prajurit dan ksatria.
Kerajinan tangan selain tenunan
sarung, juga barang-barang anyam-anyaman terutama dari Toraja yang bahannya
dari rotan. Juga anyaman dari daun lontar, daun pandan, daun kelapa serta
bambu, kerajinan logam, keramik atau tanah liat dan lain-lain. Seni ukir Toraja
sangat terkenal yang mempunyai nilai yang tinggi di dalam kehidupan masyarakat.
Ukiran bukan semata-mata sebagai hiasan saja akan tetapi mengandung
petuah-petuah yang disampaikan secara simbolis. Motif-motifnya diperoleh secara
turun-temurun dan kebanyakan bermotif benda-benda, tumbuh-tumbuhan, binatang,
dan alam, seperti matahari.
Ukiran ini selain mengisi rumah
atau bangunan diukirkan pula pada alat-alat rumah tangga berupa wadah-wadah
yang diukir, tempat-tempat dari bambu yang diukir dan lain-lain.
Di bidang bangunan, di daerah Sulawesi Selatan pula umumnya bentuk rumah yang tradisional adalah rumah di atas tiang atau rumah panggung. Atap rumah Bugis dan Makasar puncaknya berbentuk pelana bersudut lancip menghadap bawah yang terbuat dari Nipah, Rumbia, bambu, lalang, ijuk atau seng. Bagian muka dan belakang dari puncak rumah yang berbatas dengan dinding, terdapat dinding segitiga yang disebut tompak lajak (bahasa Bugis) dan Makasar disebut tumbal sela. Dari tumbak sela atau timpal lajak ini dapat diketahui derajat atau kebangsawanan pimiliknya.
Di bidang bangunan, di daerah Sulawesi Selatan pula umumnya bentuk rumah yang tradisional adalah rumah di atas tiang atau rumah panggung. Atap rumah Bugis dan Makasar puncaknya berbentuk pelana bersudut lancip menghadap bawah yang terbuat dari Nipah, Rumbia, bambu, lalang, ijuk atau seng. Bagian muka dan belakang dari puncak rumah yang berbatas dengan dinding, terdapat dinding segitiga yang disebut tompak lajak (bahasa Bugis) dan Makasar disebut tumbal sela. Dari tumbak sela atau timpal lajak ini dapat diketahui derajat atau kebangsawanan pimiliknya.
Timpak lajak yang bersusun tiga
ke atas menunjukkan rumah bangsawan, yang bersusun 5 atau 7 adalah rumah
bangsawan tinggi dan memegang kekuasaan atau pemerintahan. Rumah Toraja atapnya
berbentuk perahu layar atau tanduk kerbau, dan rumah ini disebut tongkonan,
rumah orang Makasar disebut ballak, orang Bugis menyebut Bola.
FALSAFAH BUDAYA MAKASSAR
FALSAFAH
SIRIK NA PACCE
Sirik
na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk
membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya,
sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada
dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna
tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau
pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup idak dimiliki
seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah
laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau
menang sendiri.
Falsafah
Sirik
Berbagai
pandangan para ahli hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said
mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang
dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang
berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi
Selatan berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral
untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya.1)
Kodak
VIII Sul-Selra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin mengadakan seminar
masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977 telah merumuskan : Sirik adalah suatu
sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan
harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. 2)
Kalau
kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam
empat golongan yakni : pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua
sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi
seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik).
Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga
diri manusia.
Bentuk
sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai
macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti
kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan,
incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena
adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah
dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.
Dari
berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara
terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga
yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan,
sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan,
status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat
dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung
kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati.3)
Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.
Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.
Sejak
dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh
orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya
melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan
(biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil
tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut
“Tumannyala”.4)
Jadi,
kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu “kejam” atau “jahat”
memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang
harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih
jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus
memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita,
jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan
memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana
yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau
“kupul kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi
korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat
dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)
Jenis
sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih
sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak?
Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah
mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih
kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana
pulang kampung tanpa membawa hasil.
Salah satu
syair lagu Makassar yang berbunyi :
“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudika, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan).
“Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan.5)
“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudika, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan).
“Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan.5)
Demikian
pula dalam ungkapan Makassar berbunyi :
“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya6)
“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya6)
Salah
satu contoh orang Makassar yang merantau karena sirk yakni Karaeng Aji di
Pahang. Dia merantau pada abad XVIII karena sirik. Di Pahang, ia berhasil
menjadi Syahbandar Kesultanan. Kemudian, turunannya bernama Tun Abdul Razak
berhasil menjadi Perdana Menteri Malaysia. 7)
Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.
Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.
Ada
anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah
lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya
benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh,
akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila
dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang
jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan
brarti bodoh.
Jika
orang Makassar merasa harga dirinya direndajkan, jelas mereka akan mengambil
tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja
tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau
siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah
dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang
mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri. 8)
Jenis
sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini
sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya.
Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di
depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini
dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum.
Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh
untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana
ketahuan oleh tetangganya.
Mengapa
sirik bagi suku Makassar perlu ditgakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat
dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia
ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, mnyangkut sirik, yakni
hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap
orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim
sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan
main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya
direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar
“Teai Mangkasarak punna bokona lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian
belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti
orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di
bagian depan menandakan keberaniannya.
Istilah
Pacce
Pacce
secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam
kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi
sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan,
dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat
pelik dan berbahaya. 9)
Dari
pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan
dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu
seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami
musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami
rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya,
pakah berupa materi atau nonmateri.
Antara
sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan
martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup
tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau
kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang
Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka punna tena sirik nu, pacce seng
nipak bula sibatangngang10) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik,
paccelah yang membuat kita bersatu).
FALSAFAH
“SIPAKATAU”
Sesungguhnya
budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang
teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau
kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan
Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau”
11) (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat
dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari
konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang
Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu
dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan
menghargai secara manusiawi.
Dengan
pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui
keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan
sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial
tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai
atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya
manusiawinya.
Sikap
Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi
Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif,
berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan
kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu
mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima
hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Sipakatau
dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak
“annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara
kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka
untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan
bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata. 12)
Demikianlah
Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut
diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing
cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau
merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu
meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Sosial Budaya Provinsi Sulawesi Selatan
Banyak etnis dan bahasa
daerah digunakan masyarakat Sulawesi Selatan, namun etnis paling dominan
sekaligus bahasa paling umum digunakan adalah Makassar, Bugis dan Toraja.
Salah satu kebudayaan yang terkenal hingga ke mancanegara adalah budaya dan adat Tana Toraja yang khas dan menarik.
Lagu daerah yang kerap dinyanyikan di antaranya lagu Makasar yaitu Ma Rencong-rencong, Pakarena dan Anging Mamiri.
Sedangkan lagu Bugis adalah Indo Logo, dan Bulu Alaina Tempe dan untuk Tana Toraja adalah lagu Tondo.
RUMAH-RUMAH ADAT :
Salah satu kebudayaan yang terkenal hingga ke mancanegara adalah budaya dan adat Tana Toraja yang khas dan menarik.
Lagu daerah yang kerap dinyanyikan di antaranya lagu Makasar yaitu Ma Rencong-rencong, Pakarena dan Anging Mamiri.
Sedangkan lagu Bugis adalah Indo Logo, dan Bulu Alaina Tempe dan untuk Tana Toraja adalah lagu Tondo.
RUMAH-RUMAH ADAT :
Di
Bugis, Makassar dan Tator memiliki arsitektur tradisional yang hampir sama
bentuknya. Rumah-rumah itu dibangun berdiri di atas tiang-tiang dan karenanya
mempunyai kolong. Tinggi kolong disesuaikan tiap tingkatannya dengan status
sosial pemilik, misalnya raja, bangsawan, orang berpangkat dan rakyat biasa.
Masyarakat di sana percaya bahwa selama ini penghuni pertama zaman prasejarah
di Sulawesi Selatan adalah orang Toale. Ini didasarkan atas temuan Fritz dan
Paul Sarasin tentang orang Toale, yang berarti orang-orang yang tinggal di
hutan, atau lebih tepat dikatakan penghuni hutan. Orang Toale masih satu rumpun
keluarga dengan suku bangsa Wedda di Srilangka.
Salah satu upacara adat
di Tanah Toraja (Tator) adalah upacara Rambu Solo (upacara berduka/
kematian) upacara besar sebagai
ungkapan dukacita.
Sedangkan dikalangan
masyarakat Bugis terdapat falsafah hidup “Aja Muamelo Ribetta Makkala’
Ricappa’na Letengnge”, yang berarti
masyarakat menanti dengan penuh harap pemimpin pemerintahan yang bertindak
cekatan dan bereaksi cepat mendahului orang lain dengan penuh keberanian
meskipun menghadapi tantangan berat.
Ada pula falsafah “Namo
maega Pabbisena, Nabongngo Pollopina, Teawa Nalureng”. Maksudnya biar banyak
pendayungnya tetapi juru mudinya tidak mahir, saya tidak mau menumpangi perahu
itu. Dengan kata lain, falsafah ini mengajarkan jika terdapat pemimpin yang
tidak cerdas, selayaknya dia tidak diikuti walaupun banyak punggawanya.
Tana Toraja - Tanah Kerajaan Surga
Perjalanan dari Makasar atau Ujung Pandang ke
Toraja dengan melewati jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan.
Setelah memasuki Tana Toraja, anda mulai memasuki pamandangan alam yang penuh
dengan keagungan. Batu grafit dan batuan lainnya, serta birunya pegunungan di
kejauhan setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang
sedang beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang
rumput yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini
adalah Tana Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
Tana Toraja memiliki
kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu
Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkanan
untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun
sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas
bagi si mayit. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di
dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu
menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di
batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival
pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau
Juli, dan paling lambat bulan September.
Menuju Kesana
Perjalanan Udara:
Dimulai dari lapangan
terbang Hassanudin. Makasar atau Ujung Pandang, Proses ke Tana Toraja melalui
lapangan terbang Rantepao didekat Makle, 24 Km arah selatan dari Rantepao dan
dari sana akan ada layanan bus ke kota.
Perjalanan Darat:
bus ke Rantepao ke
Ujung Pandang tiap harinya memakan waktu perjalanan selama kurang lebih 8 jam
termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari
terminal Bus Panaikan.20 menit keluar dari kota dengan menggunakan Bemo. Bus
ini biasanya pergi pada pagi hari ( jam 7 pagi) Siang Hari ( jam 1 siang) dan
pada malam hari (jam 7 malam). Beberapa perkumpulan di Rantepao kembali ke
Ujung Pandang lagi. Basanya bus yang berangkat disesuaikan dengan jumlah
penumpang.
Mengunjungi Tempat Lain
Bemo adalah cara
terbaik untuk mengetahui daerah sekitar. Selain jenis yang lain (bus kecil atau
jeep) dengan atau tanpa supir. Jika anda telah di desa anda bisa berjalan kaki untuk
mengelilingi semua.
Hal Lain Yang Dapat
Dilihat Dan Dilakukan
Menjelajahi pasar. Anda
jangan sampai ketinggalan untuk mengunjungi pasar tradisional. Disini anda akan
menemukan biji kopi khas Toraja (seperti Robusta dan Arabica) dan beberapa
barang khas lainnya seperti buah-buahan (Tamarella atau Terong Belanda dan ikan
mas).
Mengunjungi batu
Tomongaartinya dalah batu yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa
melihat banyaknya batuan vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan
beberapa batu raksasa yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan
menjadikan Tana Toraja terlihat subur dan hijau.
Mengunjungi Palawa.
Palawaadalah tempat yang bagus untuk dikunjungi. Dimana ada sebuah Tongkonan
atau kawasan penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival.
Lakukan perjalanan dari
Rantepao ke Kete. Desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di
belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran
orang hidup.
Komentar
Posting Komentar