Budaya SULAWESI SELATAN

PROVINSI SULAWESI SELATAN
Propinsi Sulawesi Selatan dengan ibukota Makassar terletak di jazirah Barat Daya dari pulau Sulawesi. Di sebelah Utara berbatasaan dengan propinsi Sulawesi Tengah, di sebelah Timur berbatasan dengan teluk Bone, di sebelah Selatan dibatasi oleh laut Flores dan sebelah Barat dengan selat Makasar.
Propinsi ini didiami oleh banyak suku bangsa, yang terbesar adalah suku Bugis, suku Makasar, dan Mandar memiliki banyak persamaan dalam adat istiadat dan unsur kebudayaannya. Perbedaannya terletak pada bahasanya dan beberapa hal lainnya. Ketiga suku tersebut terkenal sebagai pelaut yang ulung dan gagah berani, di mana mereka sering berlayar dan merantau sampai kemana-mana, mengarungi samudra luas. Sehingga daerah-daerah di Nusantara terutama daerah pantai akan dijumpai orang Bugis, atau orang
Makasar maupun orang Mandar yang bermukim, dan biasanya mereka sebagai nelayan, pelaut atau pedagang.
Lain halnya dengan suku Toraja yang mendiami daerah pedalaman, mereka mempunyai bahasa daerah sendiri serta unsur-unsur kebudayaan yang khas, berbeda dengan ketiga suku tersebut di atas.
Maka pencaharian pokok penduduk Sukawesi Selatan adalah bertani, baik pertanian ladang, sawah dan lain-lain. Selain itu perikanan di laut, danau, tebat, empang maupun sungai juga diusahakan oleh penduduk sebagai tambahan. Sedangkan kerajinan tenun menenun sejak dahulu sudah diketahui oleh kebanyakan tenun menenun sejak dahulu sudah diketahui oleh kebanyakan penduduk, dan hasilnya berupa sarung Bugis atau sarung mandar sangat digemari dan terkenal sampai ke luar daerahnya.
Di Sulawesi Selatan terdapat peninggalan sejarah berupa bekas-bekas kerajaan seperti kerajaan Gowa, Tallo, kerajaan Bone, Sopeng, Wajo, Luwu, Sindereng, Sawitto, kerajaan-kerajaan Mandar dan Toraja. Selain itu ada pula yang berupa benda-benda pusaka kerajaan, makam-makam raja-raja dan buku-buku lontar.
Di masa kerajaan Gowa, ibukota dan bandar terbesar adalah Sombaopu, yang banyak disinggahi kapal-kapal bukan saja dari Nusantara, melainkan kapal-kapal dari kota dan bandar yang menghubungkan wilayah Nusantara bagian barat dengan wilayah Nusantara bagian timur, serta kota pelabuhan teramai pada waktu itu. Namun pada taun 1669 karena kerajaan Gowa dengan benteng Sombaopunya yang terbesar melawan kumpeni Belanda dengan sekutu-sekutunya, maka benteng Sombaopu telah dimusnahkan dan diratakan dengan tanah oleh kompeni Belanda. Sejak itu Kota terbesar dan bandar teramai diwariskan atau digantikan oleh Makasar atau Ujunga Pandang hingga saat ini.
Kota Makassar dan sekitarnya memiliki peninggalan-peninggalan yang mempunyai nilai sejarah, antar lain Benteng Ujung Pandang yang sudah dipugar dan dijadikan pusat kebudayaan, makam raja-raja dan pembesar. Gowa seperti Sultan Alaudin, Sultan Muhammad, Karaeng Pattingalonga, Syech Yusuf dan Aru Palaka. Juga makam pahlawan nasional Pangeran Diponegoro dan Sultan Hasanudin.
Sultan Hasanuddin adalah raja Gowa yang ke-16, dengan nama lengkap : Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karadug Bintonganape Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla Pangka, Sultan Hasanuddin telah diangkat sebagai pahlawan Nasional oleh pemerintah dengan surat keputusan Presiden tanggal 6 November 1973. Penghargaan ini diberikan karena jasanya melawan VOC pada abad ke 17, yang dipimpin oleh Speelman. Karena keberaniannya, oleh musuh-musuhnya beliau dijuluki: Ayam jantan dari timur.
Sulawesi Selatan kaya akan kesenian, terutama seni tarinya yang dibawakan oleh penari-penari cantik dengan pakaian adatnya yang disebut baju bodo, serta sarung sutera yang halus berwarna-warna sangat indah dan ceria. Tarian di daerah ini yang terkenal adalah tari Passulo, tari Pattenung, tari Pakarena, tari Pattuddu, tari Pagellung, tari Pajaga, Genrang Bulo dan lain-lainnya. Sedangkan lagu-lagu daerah yang sangat digemari dan dikenal hingga di lain daerah adalah lagu angin mamiri, lagu Ati Raja, lagu Pakarena dan sebagainya. Lagu-lagu ini bersyairkan dan bernada tradisional akan tetapi karena populernya telah menjadi lagu pop di Nusantara.
Permainan rakyat Sulawesi Selatan yang terkenal dan digemari adalah sepak raga dengan bola yang disebut Pa raga, permainan massemba, permainan adu kerbau, pacuan kuda, lomba layar, berburu rusa dan lain-lain. Berburu rusa dahulu dilakukan dengan menunggang kuda dan memakai jerat bertangkai untuk menangkap rusa hidup-hidup, merupakan olah raga yang digemari oleh orang-orang Bugis-Makasar. Berburu rusa seperti ini selain memerlukan ketrampilan dan keneranian juga memerlukan ketangkasan berkuda. Dahulu permainan seperti ini sering disaksikan oleh raja-raja dan putri-putri istana, sehingga bagi seorang pemuda yang menunjukkan ketangkasan dan keunggulannya, menjadi pujaan gadis-gadis bangsawanyang cantik-cantik. Karena itu tidak mengherankan bila banyak pemuda Sulawesi Selatan yang tangkas mengendarai kuda, yang pada jaman dahulu merupakan latihan ketangkasan yang diwajibkan bagi para prajurit dan ksatria.
Kerajinan tangan selain tenunan sarung, juga barang-barang anyam-anyaman terutama dari Toraja yang bahannya dari rotan. Juga anyaman dari daun lontar, daun pandan, daun kelapa serta bambu, kerajinan logam, keramik atau tanah liat dan lain-lain. Seni ukir Toraja sangat terkenal yang mempunyai nilai yang tinggi di dalam kehidupan masyarakat. Ukiran bukan semata-mata sebagai hiasan saja akan tetapi mengandung petuah-petuah yang disampaikan secara simbolis. Motif-motifnya diperoleh secara turun-temurun dan kebanyakan bermotif benda-benda, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan alam, seperti matahari.
Ukiran ini selain mengisi rumah atau bangunan diukirkan pula pada alat-alat rumah tangga berupa wadah-wadah yang diukir, tempat-tempat dari bambu yang diukir dan lain-lain.
Di bidang bangunan, di daerah Sulawesi Selatan pula umumnya bentuk rumah yang tradisional adalah rumah di atas tiang atau rumah panggung. Atap rumah Bugis dan Makasar puncaknya berbentuk pelana bersudut lancip menghadap bawah yang terbuat dari Nipah, Rumbia, bambu, lalang, ijuk atau seng. Bagian muka dan belakang dari puncak rumah yang berbatas dengan dinding, terdapat dinding segitiga yang disebut tompak lajak (bahasa Bugis) dan Makasar disebut tumbal sela. Dari tumbak sela atau timpal lajak ini dapat diketahui derajat atau kebangsawanan pimiliknya.
Timpak lajak yang bersusun tiga ke atas menunjukkan rumah bangsawan, yang bersusun 5 atau 7 adalah rumah bangsawan tinggi dan memegang kekuasaan atau pemerintahan. Rumah Toraja atapnya berbentuk perahu layar atau tanduk kerbau, dan rumah ini disebut tongkonan, rumah orang Makasar disebut ballak, orang Bugis menyebut Bola.
FALSAFAH BUDAYA MAKASSAR
FALSAFAH SIRIK NA PACCE
Sirik na pacce merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu, paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila sirikna pacce sebagai pandangan hidup idak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.
Falsafah Sirik
Berbagai pandangan para ahli hukum adat tentang pengertian sirik. Moh. Natsir Said mengatakan bahwa sirik adalah suatu perasaan malu (krengking/belediging) yang dilanggar norma adatnya. Menurut Cassuto, salah seorang ahli hukum adat yang berkebangsaan Jepang yang pernah menliti masalah sirik di Sulawesi Selatan  berpendapat : Sirik merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh pihak yang melanggar adatnya.1)
Kodak VIII Sul-Selra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin mengadakan seminar masalah sirik tanggal 11-13 Juli 1977 telah merumuskan : Sirik adalah suatu sistem nilai Sosial-kltural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. 2)
Kalau kita kaji secara mendalam dapat ditemukan bahwa sirik dapat dikategorikan dalam empat golongan yakni : pertama, Sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan, kedua sirik yang berakibat kriminal, ketiga sirik yang dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk bekerja dan keempat sirik yang berarti malu-malu (sirik-sirik). Semua jenis sirik tersebut dapat diartikan sebagai harkat, martabat, dan harga diri manusia.
Bentuk sirik yang pertama adalah sirik dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai sirik seperti kawin lari (dilariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, incest (perbuatan sumbang/salimarak)/ yakni perbuatan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dan putrinya, ibu dengan putranya dsb.
Dari berbagai perbuatan a-susila itu, naka incestlah/salimarak merupakan pelanggara terberat. Sebab susah untuk diselesaikan karena menyangkut hubungan keluarga yang terlalu dekat, semuanya serba salah. Kalau perkawinan terus dilangsungkan, sengat dikutuk oleh masyarakat, dan kalau perkawinan tidak dilangsungkan, status anak yang lahir nanti bagaimana ? Perbuatan salimarak ini dulu dapat dikenakan hukuman “niladung” yakni kedua pelaku dimasukkan dalam karung kemudian ditenggelamkan kelaut atau ke dalam air sampai mati.3)
Lain halnya perbuatan asusila lainnya seperti perzinahan, perkosaan, dan kawin lari Penyelesaiannya dapat dilakukan melalui perkawinan secara adat kapan saja, bilamana kedua belah pihak ada persetujuan atua mengadakan upacara abajik (damai). Sesudah itu tidak ada lagi masalah.
Sejak dulu hingga sekarang, perbuatan asusila ini sering kali dilakukan oleh orang-orang tertentu, oleh suku Makassar perbutan tersebut dianggapnya melanggar sirik. Bila perbuatan a-susila terjadi, pihak yang dipermalukan (biasanya dari pihak perempuan yang disebut Tumasirik) berhak untuk mengambil tindakan balasan pada orang-orang yang melanggar siriknya yang disebut “Tumannyala”.4)
Jadi, kalau ada anggapan orang luar yang mengatakan sirik itu “kejam” atau “jahat” memang demikian, akan tetapi dibalik kekejaman itu tersimpan makna hidup yang harus dimiliki oleh manusia untuk menjaga harga dirinya. Lebih kejam atau lebih jahat, bilamana anak yang lahir tanpa ayah, anak haram, kemana anak ini harus memanggil ayah ? Apalagi kalau perbuatan a-susila membudaya di negara kita, jelas harkat dan martabat manusia lebih rendah dari pada binatang. Dekatakan memang nalurinya, sedangkan manusia punya otak, pikiran untuk membedakan mana yang baik dan mana yang salah. Alangkah jahatnya bila perbuatan free seks atau “kupul kebo”, membudaya di negara kita, berapa banyak wanita yang harus jadi korban kebuasan seksual ? Justru kehadiran sirik di tengah masyarakat dapat dijadikan sebagai penangkal kebebasan seks (free seks)
Jenis sirik yang kedua adalah sirik yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses. Misalnya, kalau kita melihat orang lain sukses, kenapa kita tidak? Contoh yang paling konkret, suku Makassar biasanya banyak merantau ke daerah mana saja. Sesampai di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan. Kenapa mereka bekerja keras ? Karena mereka nantinya malu bilamana pulang kampung tanpa membawa hasil.
Salah satu syair lagu Makassar yang berbunyi :
“Takunjungngak bangung turu, nakugincirik gulingku, kualleanna, tallanga natoalia. (Tidak begitu saja ikut angin burutan, dan kemudian saya putar kemudika, lebih baik tenggelam, dari pada balik haluan).
“Bangung turuk, adalah istilah pelayaran yang berarti angin buritan.5)
Demikian pula dalam ungkapan Makassar berbunyi :
“Bajikanngangi mateya ri pakrasanganna taua nakanre gallang-gallang na ammotere natena wassekna” (lebih mati di negeri orang dimakan cacing tanah, daripada pulang tanpa hasil, akibatnya akan dicemoohkan oleh masyarakat di daerahnya, tapi kalau ia menjulang sukses, maka ia dapat dijadikan sebagai teladan bagi masyarakat lainnya6)
Salah satu contoh orang Makassar yang merantau karena sirk yakni Karaeng Aji di Pahang. Dia merantau pada abad XVIII karena sirik. Di Pahang, ia berhasil menjadi Syahbandar Kesultanan. Kemudian, turunannya bernama Tun Abdul Razak berhasil menjadi Perdana Menteri Malaysia. 7)
Jenis sirik yang ketiga adalah sirik yang bisa berakibat kriminal. Sirik seperti ini misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata tidak enak didengar dan sebagainya tamparan itu dibalasnya dengan tamparan pula sehingga terjadi perkelahian yang bisa berakibat pembunuhan.
Ada anggapan orang luar bahwa orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh). Anggapan seperti ini bagi orang Makassar tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukannya bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata ingin membela harga dirinya. Adalah lebih bodoh bila dipermukaan di muka umum lantas diam saja tanpa ada tindakan apa-apa. Yang jelas, memang marah karena harga dirinya direndahkan di depan umum, tapi bukan brarti bodoh.
Jika orang Makassar merasa harga dirinya direndajkan, jelas mereka akan mengambil tindakan pada orang yang mempermalukan itu. Ada ungkapan orang Makassar “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah, beru terbukti udang) maksudnya kalau siriknya orang Makassar dilanggar, tindakan untuk menegakkan sirik itu tidaklah dipikirkan akibatnya dan nati selesai baru diperhitungkan. Ungkapan inilah yang mendorong orang Makassar untuk menjaga kehormatan diri. 8)
Jenis sirik yang keempat adalah sirik yang berarti malu-malu. Sirik semacam ini sebenarnya dapat berakibat ngatifnya bagi seseorang, tapi ada juga positifnya. Misalnya yang ada akibat negatifnya ialah bila seseorang disuruh tampil di depan umum untuk jadi protokol, tetapi tidak mau dengan alasan sirik-sirik. Ini dapat berakibat menhalangi bakat seseorang untuk berani tampil di depan umum. Sebaliknya akibat positif dari sirik-sirik ini, misalnya ada seseorang disuruh untuk mencuri ayam, lalu dia tidak mau dengan alasan sirik-sirik bilamana ketahuan oleh tetangganya.
Mengapa sirik bagi suku Makassar perlu ditgakkan, jawabnya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Yang menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah adanya dua versi hukum yang saling bertentangan, mnyangkut sirik, yakni hukum adat Makassar menginginkan mengambil tindakan balasan terhadap orang-orang yang merendahkan martabatnya dalam arti kata bisa main hakim sendiri, sedang hukum positif (KUHP) melarang sama sekali melakukan tindakan main hakim sendiri. Suatu prinsip bagi suku Makassar, kalau harga dirinya direndahkan, akan melakukan tindakan balasan, Dalam ungkapan orang Makassar “Teai Mangkasarak punna bokona lokok (bukan orang Makassar kalau bahagian belakangnya luka) maksudnya kalua luka itu berada di bagian belakang berarti orang itu takut berhadapan dengan lawannya, sebaliknya kalau luka itu ada di bagian depan menandakan keberaniannya.
Istilah Pacce
Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan  berbahaya. 9)
Dari pengertian tersebut, maka jelasnya bahwa pacce itu dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh, seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu. Segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya, pakah berupa materi atau nonmateri.
Antara sirik dan pacce ini keduanya saling mendukung dalam meningkatkan harkat dan martabat manusia, namun kadang-kadang salah satu dari kedua falsafah hidup tersebut tidak ada, martabat manusia tetap akan terjaga, tapi kalau kedua-duanya tidak ada, yang banyak adalah kebinatangan. Ungkapan orang Makassar berbubyi “Ikambe Mangkasaraka  punna tena sirik nu, pacce seng nipak bula sibatangngang10) (bagi kita orang Makassar kalau bukan sirik, paccelah yang membuat kita bersatu).
FALSAFAH “SIPAKATAU”
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” 11) (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi.
Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya.
Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Sirik na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang telah meneapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Sipakatau dalam kegiatan ekonomi, sangat mencela adanya kegiatan yang selalu hendak “annunggalengi” (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka secara kodrati bagi setiap manusia. Azas Sipakatau akan menciptakan iklim yang terbuka untuk saling “sikatallassi” (saling menghidupi), tolong-menolong, dan bekerjasama membangun kehidupan ekonomi masyarakat secara adil dan merata. 12)
Demikianlah Sipakatau menjadi nilai etika pergaualan orang Makassar yang patut diaktualisasikan di segala sektor kehidupan. Di tengah pengaruh budaya asing cenderung menenggelamkan penghargaan atas sesama manusia, maka sikap Sipakatau merupakan suatu kendali moral yang harus senantiasa menjadi landasan. Hal itu meningkatkan budaya Sipakatau juga merupakan yuntunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan azas Pancasila, terutama Sila Ketiga yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.

 

Sosial Budaya Provinsi Sulawesi Selatan

Banyak etnis dan bahasa daerah digunakan masyarakat Sulawesi Selatan, namun etnis paling dominan sekaligus bahasa paling umum digunakan adalah Makassar, Bugis dan Toraja.

Salah satu kebudayaan yang terkenal hingga ke mancanegara adalah budaya dan adat Tana Toraja yang khas dan menarik.
Lagu daerah yang kerap dinyanyikan di antaranya lagu Makasar yaitu Ma Rencong-rencong, Pakarena dan Anging Mamiri.

Sedangkan lagu Bugis adalah Indo Logo, dan Bulu Alaina Tempe dan untuk Tana Toraja adalah lagu  Tondo.

RUMAH-RUMAH ADAT :
Di Bugis, Makassar dan Tator memiliki arsitektur tradisional yang hampir sama bentuknya. Rumah-rumah itu dibangun berdiri di atas tiang-tiang dan karenanya mempunyai kolong. Tinggi kolong disesuaikan tiap tingkatannya dengan status sosial pemilik, misalnya raja, bangsawan, orang berpangkat dan rakyat biasa. Masyarakat di sana percaya bahwa selama ini penghuni pertama zaman prasejarah di Sulawesi Selatan adalah orang Toale. Ini didasarkan atas temuan Fritz dan Paul Sarasin tentang orang Toale, yang berarti orang-orang yang tinggal di hutan, atau lebih tepat dikatakan penghuni hutan. Orang Toale masih satu rumpun keluarga dengan suku bangsa Wedda di Srilangka.
Salah satu upacara adat di Tanah Toraja (Tator) adalah upacara Rambu Solo (upacara berduka/ kematian)   upacara besar sebagai ungkapan dukacita.
Sedangkan dikalangan masyarakat Bugis terdapat falsafah hidup “Aja Muamelo Ribetta Makkala’ Ricappa’na Letengnge”,  yang berarti masyarakat menanti dengan penuh harap pemimpin pemerintahan yang bertindak cekatan dan bereaksi cepat mendahului orang lain dengan penuh keberanian meskipun menghadapi tantangan berat.
Ada pula falsafah “Namo maega Pabbisena, Nabongngo Pollopina, Teawa Nalureng”. Maksudnya biar banyak pendayungnya tetapi juru mudinya tidak mahir, saya tidak mau menumpangi perahu itu. Dengan kata lain, falsafah ini mengajarkan jika terdapat pemimpin yang tidak cerdas, selayaknya dia tidak diikuti walaupun banyak punggawanya.    
  Tana Toraja - Tanah Kerajaan Surga
 Perjalanan dari Makasar atau Ujung Pandang ke Toraja dengan melewati jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan. Setelah memasuki Tana Toraja, anda mulai memasuki pamandangan alam yang penuh dengan keagungan. Batu grafit dan batuan lainnya, serta birunya pegunungan di kejauhan setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang sedang beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang rumput yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini adalah Tana Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkanan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayit. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.
Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.
Menuju Kesana
Perjalanan Udara:
Dimulai dari lapangan terbang Hassanudin. Makasar atau Ujung Pandang, Proses ke Tana Toraja melalui lapangan terbang Rantepao didekat Makle, 24 Km arah selatan dari Rantepao dan dari sana akan ada layanan bus ke kota.
Perjalanan Darat:
bus ke Rantepao ke Ujung Pandang tiap harinya memakan waktu perjalanan selama kurang lebih 8 jam termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari terminal Bus Panaikan.20 menit keluar dari kota dengan menggunakan Bemo. Bus ini biasanya pergi pada pagi hari ( jam 7 pagi) Siang Hari ( jam 1 siang) dan pada malam hari (jam 7 malam). Beberapa perkumpulan di Rantepao kembali ke Ujung Pandang lagi. Basanya bus yang berangkat disesuaikan dengan jumlah penumpang.
Mengunjungi Tempat Lain
Bemo adalah cara terbaik untuk mengetahui daerah sekitar. Selain jenis yang lain (bus kecil atau jeep) dengan atau tanpa supir. Jika anda telah di desa anda bisa berjalan kaki untuk mengelilingi semua.
Hal Lain Yang Dapat Dilihat Dan Dilakukan
Menjelajahi pasar. Anda jangan sampai ketinggalan untuk mengunjungi pasar tradisional. Disini anda akan menemukan biji kopi khas Toraja (seperti Robusta dan Arabica) dan beberapa barang khas lainnya seperti buah-buahan (Tamarella atau Terong Belanda dan ikan mas).
Mengunjungi batu Tomongaartinya dalah batu yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa melihat banyaknya batuan vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan beberapa batu raksasa yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan menjadikan Tana Toraja terlihat subur dan hijau.
Mengunjungi Palawa. Palawaadalah tempat yang bagus untuk dikunjungi. Dimana ada sebuah Tongkonan atau kawasan penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival.
Lakukan perjalanan dari Rantepao ke Kete. Desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran orang hidup.

Komentar

Postingan Populer